Mental Wellbeing While Staying At Home: Mental Wellbeing Semua Dimulai dari Hunian Asik Rasa Piknik

Benarkah kondisi tempat tinggal turut memengaruhi kondisi mental seseorang?

Pandemi covid-19 membuat orang semakin terbiasa untuk melakukan aktivitas pekerjaan dari rumah atau work from home. Mereka yang mulai terbiasa dan menyukai sistem ini tentu saja sepakat bahwa ada kesan bekerja dari rumah membuat seseorang lebih leluasa memanjakan keinginan bermalas-malasan. Dengan kerja dari rumah membuat orang tak perlu repot-repot menempuh perjalanan menuju kantor. Sekilas, mereka terbebas dari derita ‘tua di jalan’. Adapun mereka yang biasanya harus mengadapi macet jalanan setiap hari, tak perlu lagi menghadapi siksaan tersebut. Dari sisi lain, juga membuat orang relatif lebih hemat pengeluaran untuk transportasi atau jajan selama di kantor. Sedangkan mereka yang tidak cukup siap dengan budaya kerja baru ini, harus mengatasi jam kerja yang menjadi tidak menentu dan kondisi rumah yang tidak kondusif untuk bekerja.

Sebuah studi yang dilakukan peneliti dari Keio University di Tokyo, yang dijuga dimuat oleh Fox, mengungkapkan sebagian besar masyarakat yang menjalankan WFH justru mengalami gangguan ringan terhadap kesehatan mental. Dari delapan ribu lebih karyawan yang menjadi responden, 41,3% di antaranya mengaku sulit untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan personal mereka. Sedangkan 39,9% lainnya merasa kesulitan mendapatkan waktu cukup untuk berolahraga, dan sisanya kesulitan berkomunikasi dengan rekan kerja. Seorang Profesor Universitas Keio yang ada di balik penelitian ini, Profesor Isamu Yamamoto, mengamini semua celotehan mereka yang tak begitu suka dengan WFH karena risiko jam kerja yang semakin lama. Panggilan meeting virtual jadi tak kenal waktu. Lihatlah cuitan warga di media sosial yang tak jauh dari keluhan pekerjaan yang merampas waktu sesuka hati, bahkan meeting tengah malam dianggap biasa karena berada di rumah saja. Batas antara jam kerja dan kehidupan pribadi makin tak jelas lagi. Kita baru berbicara pada satu hal pokok, tentang jam kerja yang tak terlihat batas tegasnya. Belum berbicara hal lain seperti kondisi rumah yang menurut penelitian juga ikut memengaruhi kondisi mental seseorang. Bayangkan, apa jadinya hidup kita yang terkurung dalam waktu yang panjang sudah lebih dari delapan bulan lamanya kemudian orang mati bosan dibuatnya?

Buntut dari ini semua muncul sebuah gejala yang belakangan ini semakin akrab disebutsebut dengan istilah cabin fever. Sebuah istilah yang merujuk kondisi emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama “terisolasi” di dalam rumah ataupun tempat tertentu. Tak hanya itu, gejala ini juga bisa lantaran terputusnya seseorang dari dunia luar. Cabin fever tidak sesederhana hanya dijerat rasa bosan saja. Kondisi itu menganggu emosional seseorang. Jangan kaget ketika melihat anggota keluarga kita yang mudah tersinggung, merasa mudah putus asa, sulit berkonsentrasi, sulit bangun dari tidur, tubuh yang terasa lemah dan lesu, dan depresi untuk waktu yang lama. Rasa bosan yang mendera perlahan menjelma menjadi stres yang mengusik kesehatan mental. Kondisi mental yang baik akhirnya berbanding lurus dengan keadaan dan kondisi tempat tinggal seseorang. Artinya, semakin nyaman rumah tempat seseorang menghabiskan hari-harinya melewati “kurungan” keadaan, semakin seseorang terbebas dari gangguan kondisi mental.

“Penelitian yang pernah di terbitkan pada tahun 2010 dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulettin juga pernah mengungkap wanita yang berada dalam rumah yang berantakan beresiko mengalami stres dan rasa lebih tinggi dibandingkan wanita yang berada dalam rumah yang bersih dan rapi.”

Penelitian tersebut seakan jadi sebuah anjuran bagi kita yang berada di kondisi yang memaksa kita lebih sering berada di rumah ini untuk selalu menjaga rumah tetap bersih dan nyaman. Semakin bersih dan nyaman sebuah hunian, pastinya mempengaruhi kualitas istirahat, apalagi saat ini rumah juga disulap menjadi tempat kerja dadakan. Kebutuhan untuk membuat sebuah hunian yang nyaman disadari betul Permata Hijau Suites. Rasa percaya diri itu muncul karena konsep yang diusung selama ini semakin relevan dengan kebutuhan seseorang akan hunian masa kini, yang tak hanya tempat untuk mereka tinggal (live), tapi didesain sedemikian rupa agar juga menciptakan ruang kerja yang aman dan nyaman (work). Tentu saja juga memperhatikan aspek yang sangat dibutuhkan end-user; indulgence, privacy, safety, dan security.

Ruang yang disebut sebagai ‘home’ ini juga mengakomodasi kebutuhan penghuninya untuk belajar (learn). Tak lupa, ketiga aspek tersebut harus diimbangi oleh satu aspek lagi yakni leisure. Sebagai apartemen premium dengan lokasi strategis, yang juga memiliki spesifikasi produk terbaik dan unggul, Permata Hijau Suites menyiapkan 45 lebih fasilitas baik indoor maupun outdoor. Mulai dari library, game room, spa, sauna, jacuzzi, aquatic gym pool, yoga & pilates area, water curtain, leisure pool, gazebo, dan tentu saja infinity pool.

Puncak dari semua fasilitas ini adalah menghadirkan mirip garis langit kota Manhattan, New York. sebagai peneguhan bahwa PHS layak menyandang World Class Neighbourhood. Selain memanjakan mata, juga membuat penghuni tempat ini bisa mengendorkan otot-otot lelah dan melepas stres yang melanda. Dengan tawaran semua konsep hidup yang amat relevan dengan kondisi kehidupan di tengah pandemi ini, membuat Permata Hijau Suites percaya diri menyebut dirinya sebagai #supersolutions. Terlebih bagi General Manager Marketing Permata Hijau Suites, Ivonne Suwandi, semua pengalaman leisure yang dihadirkan akan membuat semua orang terbebas dari rasa bosan selama di rumah. “Banyak orang stres karena bosan karena di rumah aja.

Tapi di sini, work rasa piknik. Learn juga rasa piknik. Kalau lihat kayak gini, saya mending WFH saja, di rumah nggak ada bosannya,” ujar Ivonne Suwandi. Apalagi Ivonne percaya, jika terus-terusan dilanda rasa bosan, akan berpengaruh pada daya tahan tubuh atau imunitas seseorang. Dengan apa yang dihadirkan di Permata Hijau Suites, membuat seorang dengan mudah mengusir rasa bosan yang melanda. Apa yang diyakini Ivonne tentang korelasi rasa bosan dengan imunitas pun valid jika mengutip apa yang pernah diungkapkan Ahli Psikologi Universitas Indonesia, Profesor Hamdi Muluk. Profesor Hamdi Muluk juga menyitir riset yang menyebutkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) ikut memengaruhi imunitas.

Sedangkan imunitas adalah kata kunci melawan virus covid. Kondisi saat ini yang menjadi penyebab stres (stressor) dapat menggerogoti kesehatan psikologis manusia. Mudahnya, kalau psikologis kita terganggu, atau kesehatan mental seseorang tak dalam kondisi baik, semakin mudah kita terserang penyakit karena tubuh tak cukup kebal melawan penyakit. (DP) Jadi apakah hunianmu sudah bersih dan memberikan rasa piknik untuk hidupmu?

Download Newsletter Desember 2020